Oleh: Prof. Jawad Amuli
Haji adalah ibadah politis. Dampak-dampak politis dalam ibadah haji nampak sangat kentara. Demikian pula dampak-dampak ibadahnya, juga terlihat dalam (ibadah) politis ini.
Allah SWT menjadikan Kabah dan ibadah haji sebagai tanda-tanda keindahan dan kemuliaan-Nya. Tanda-tanda pemisahan diri dari kemusyrikan dan orang-orang musyrik dapat disaksikan dalam ibadah ini. Tawalli merupalan aspek ibadah yang menunjukkan keindahan Allah dan tabarri merupakan aspek politik yang menampakkan keagungan Allah. Sementara itu, ziarah ke Baitullah memberikan dampak pembersihan dan penyucian jiwa.
Haji, Sepanjang Masa dan Sejarah
Haji merupakan ritual ziarah Kabah dan kegiatan manasik yang dilakukan di sepanjang abad dan masa, dalam berbagai macam dan bentuknya. Kabah adalah rumah pertama yang dibangun dengan tujuan agar manusia beribadah dan menyembah Allah. Dan Kabah merupakan titik pusat pertama yang menarik para ahli ibadah menuju Allah SWT. Allah berfirman :
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi
bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata,
(diantaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu)
menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan
ke Baitullah. Barangsiapa yang mengingkari kewajiban haji,
maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam. (QS. Ali Imran : 96-97)
Tempat peribadahan Kabah juga disebut dengan Bakkah, yang berarti penuh sesak dan ramai. Ini menunjukkan bahwa Kabah merupakan pusat dunia yang didatangi oleh manusia dari seluruh penjuru di sepanjang masa. Ya, lantaran ramainya manusia yang berdatangan ke tempat peribadahan tersebut, maka dinamakanlah ia dengan Bakkah (Mekah).
Ketika Kabah diumumkan sebagai kiblat resmi kaum muslimin, pengikut Nabi Musa mengajukan protes, bagaimana mungkin kiblat dipindahkan dari Bait al-Maqdis ke Kabah? Kemudian, turunlah wahyu yang menjelaskan bahwa Kabah telah lebih dulu dibangun sebagai tempat peribadahan dibanding tempat-tempat ibadah lainnya.
Kabah merupakan rumah pertama yang digunakan untuk beribadah dan menyembah Allah SWT. Ia dibangun dengan tujuan memberikan hidayah kepada seluruh manusia dan bangunan tersebut mengandungi banyak berkah. Hidayah Kabah tidak dikhususkan bagi umat dan masa tertentu saja. Namun, ia diperuntukkan bagi seluruh umat manusia sepanjang masa. Oleh karena itu, sejak zaman dahulu kala para penyembah berhala dari semua bangsa telah menghormati Kabah. lantaran berbagai faktor, mereka yakin bahwa menghormati Kabah adalah sebuah kewajiban.
Singkatnya, argumentasi yang membuktikan bahwa Kabah lebih dulu dibangun ketimbang Bait al-Maqdis merupakan jawaban atas protes yang diajukan oleh sebagian pengikut agama samawi. Barangkali, dikarenakan protes inilah kemudian turun sebuah ayat yang menjelaskan bahwa Kabah adalah rumah yang tua. Tak ada tempat ibadah yang lebih tua ketimbang Kabah.
Haji, Kewajiban Manusia dari Seluruh Penjuru Dunia
Berziarah ke Kabah dan melaksanakan seluruh perintah Ilahi yang tercantum dalam Al-Quran tidaklah dikhususkan bagi sekelompok manusia di suatu negeri tertentu. Dalam melaksanakan ibadah haji, tak ada keistimewaan penduduk suatu kawasan dengan penduduk kawasan lain. Dalam perjalanan ruhani ini, mereka yang tinggal jauh dari tanah suci sama dengan mereka yang dekat. Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan yang menghalangi manusia
jalan Allah dan dari Masjidil Haram yang telah Kami jadikan
semua manusia,baik yang bermukim di situ maupun
yang datang dari luar di padang pasir. (QS. Al-Hajj : 25)
Menurut ayat mulia ini, masjid suci yang dibangun di sekitar Kabah adalah tempat shalat, doa dan thawaf bagi seluruh manusia secara sama. Tak ada perbedaan – dalam pelaksanaan ibadah – antara penduduk Mekah dengan para musafir yang datang dari berbagai belahan dunia.
Ringkasnya, dengan meneliti dan mengkaji berbagai sisi haji dalam sistem Islam, akan dapat diketahui dengan baik bahwa Islam adalah agama universal dan internasional. Islam yakin bahwa berangkat menuju Kabah adalah hijrah menuju Allah. Islam menganggap hijrah ini adalah sebuah keharusan bagi seluruh penduduk di berbagai belahan dunia. Sebab, seluruh agama Ilahi menyatakan bahwa haji adalah sebuah sistem Ilahi yang resmi. Begitu populernya ibadah ini, sehingga pelaksanaan haji dijadikan rujukan bagi perhitungan tahun. Karena itu, dalam hal perjanjian antara Nabi Musa as dan Nabi Syu’aib as, delapan tahun disebut dengan delapan musim haji.
Para Pendiri Kabah
Kabah didirikan atas perintah Allah oleh tangan dua orang nabi nan agung dan mulia, Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as. Bangunan yang didirikan dengan kemurnian dan keikhlasan hati pendirinya, memberikan bentuk khusus yang bercampur dengan kesucian dan keikhlasan hati, dimana dalam membangun dan mendirikannya tidak lain hanya mengharapkan keridhaan Allah semata.
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar
Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan Kami,
terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah
yang Maha MendengarlagiMahatahu.” (QS. Al-Baqarah : 127)
Tatkala dua pribadi agung itu membangun Kabah dan meninggikan dasar-dasarnya, dari kedalaman jiwa mereka yang suci dan bersih, dengan tulus keluar ucapan, “Wahai Tuhan! Terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Oleh karena itu, tujuan pembangunan Kabah dan tujuan hidup para pendirinya adalah semata-mata mengharapkan keridhaan Allah. Lantaran niat tersebut merupakan inti dan landasan pekerjaan itu, dan dalam mengerjakan bangunan itu tidak ada niat lain selain dan murni untuk Allah, maka dari sinilah nilai penting, keagungan dan kemuliaan Kabah menjadi terlihat dengan jelas.
Haji dalam Perspektif Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata, “Allah telah mewajibkan Anda berhaji ke riumah suci-Nya, yang merupakan kiblat bagi manusia yang datang kepadanya.” Beliau juga menambahkan, “Allah yang Mahasuci menjadikannya pertanda atas ketundukan mereka di hadapan keagungan-Nya dan pengakuan mereka akan kemuliaan-Nya. Ia memilih di antara ciptaan-Nya orang-orang yang ketika mendengar seruan-Nya, mereka menyambutnya dan membenarkan firman-Nya. Mereka berdiri pada posisi para nabi-Nya dan menyerupai para malaikat-Nya, yang mengelilingi mahligai-Nya, untuk mereguk segala manfaat dari pengabdian kepada-Nya dan bergegas untuk beroleh ampunan yang dijanjikan-Nya.” (Nahj al-Balaghah).
Allah SWT berfirman :
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,
yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
(QS. Ali Imran : 97)
Membuat Perjanjian dengan Haji
Agar sunnah Nabi Ibrahim ini tetap hidup di antara para nabi, mereka mengatur perjanjian, dari yang paling sederhana hingga janji yang paling penting, dengan haji atau menyebut bilangan waktu dengan musim haji. Misal, dalam peristiwa Nabi Syu’aib as mempekerjakan Nabi Musa as, isitilah waktu yang digunakan adalah musim haji.
Nabi Syu’aib as berkata kepada Nabi Musa as :
Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan engkau dengan
salah seorang di antara kedua anakku ini,atas dasar
bahwa engkau bekerja untukku selama delapan musim haji.
(QS. Al-Qashash : 27)
Delapan tahun disebut dalam bentuk delapan musim haji, Nabi Syu’aib as tidak mengatakan, “Kamu bekerjka untukku selama delapan tahun.” Tapi beliau berkata, ” Selama delapan musim haji.” Karena setiap tahun haji dilakukan sekali, maka sekali musim haji menunjukkan waktu satu tahun. Delapan musim haji artinya delapan tahun. Inilah perjanjian paling sederhana dengan menggunakan istilah musim haji.
Nabi Musa Kalimullah, ketika mencapai kedudukan kenabian, Allah SWT berkehendak mengatur perjanjian paling penting dengan nabi-Nya (ini). Lantaran penentuan waktu berada di tangan Allah dan bukan tanggung jawab Nabi Musa as, maka Allah SWT berfirman kepada Nabi Musa as : “Dan Kami telah janjikan kepada Musa (akan memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam.” (QS. Al-A’raf : 142). Waktu empat puluh malam ini dimulai dari awal bulan Dzulqaidah hingga tanggal 10 bulan Dzulhijjah yang merupakan waktu bagi pelaksanaan ibadah haji yang paling penting. Empat puluh hari inilah waktu yang paling baik untuk menyucikan jiwa.
Dalam riwayat-riwayat disebutkan bahwa selama kurun 40 hari tersebut, Nabi Musa as tidak makan dan minum. Kerinduan akan perjumpaaan dengan Allahlah yang memberikan makanan spiritual kepada Nabi Musa as. Hasil dari semua itu adalah beliau memperoleh kitab suci Taurat pada tanggal 10 Dzulhijjah. Peristiwa ini adalah perjanjian terpenting antara makhluk dan Khalik, serta perjanjian paling sederhana di antara dua makhluk (Nabi Syu’aib as dan Nabi Musa as).
Sebagaimana kitab Taurat, dalam Al-Quran surah Ibrahim juga disebutkan tentang masalah haji, pembangunan Kabah, negeri yang aman, dan masalah-masalah lain sekaitan dengan fikih politik haji. Sekaitan dengan risalah Nabi Musa as, Allah berfirman :
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa membawa ayat-ayat Kami. (Dan Kami perintahkan kepadanya), “Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang, dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.” (QS. Ibrahim : 5)
Beda Haji dan Jihad
Rasulullah SAW bersabda, “Tiada hari-hari lebih suci, di sisi Allah, dan lebih besar pahalanya daripada berbuat baik pada 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah.”
Terdapat hadis kedua, yang lebih tinggi (berbobot) ketimbang hadis pertama, “Tiada hari-hari, yang mana beramal baik didalamnya lebih dicintai di sisi Allah, daripada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.” Kata lebih dicintai lebih berbobot dibanding dengan kata lebih suci.
Oleh karena itu, almarhum Mirza Jawad Milki Tabrisi berpendapat bahwa hadis kedua lebih penting ketimbang hadis pertama. Rahasia pentingnya hadis kedua ini terletak pada penggunaan kata cinta dan bukan keagungan. Dalam kedua riwayat ini, sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah jihad di jalan Allah tidak lebih dicintai ketimbang beramal di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, jihad di jalan Allah pahalanya tidak seperti beramal pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.” Akan tetapi, agar masalah ini menjadi jelas, sehingga kita bisa membedakan antara jihad dan mati syahid, Rasulullah SAW menambahkan, “Jihad adalah suatu perbuatan, (sementara) mati syahid dan mengorbankan harta adalah perbuatan lain. Setiap orang yang pergi ke medan pertempuran, dia tidak mendapatkan pahala 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, kecuali seorang pejuang yang keluar dengan mengorbankan jiwa dan hartanya kemudian dia tidak kembali lagi (mati syahid).”
Setiap orang, di setiap masa, bila sampai pada derajat mati syahid, kematiannya memberikan nilai berharga dan kebanggaan bagi waktu dan sejarah. Di setiap tanah, bila dia meneteskan darahnya, maka tanah tersebut beroleh kemuliaan. Cobalah Anda secara berulang, membaca doa Ziarah al-Waris dan Ziarah Asyura, di dalamnya akan Anda temukan penjelasan bahwa tanah yang tersirami darah para syuhada adalah tanah yang mulia. Dalam doa ziarah, misalnya, dikatakan, “Kalian menjadi mulia dan demikian pula tanah tempat kalian dimakamkan menjadi mulia pula.”
Ya, orang yang mati syahid, kematian syahidnya merupakan hal lain yang berbeda dengan jihad. Boleh jadi, seorang pejuang beroleh kematian syahid dan boleh jadi pula, ia tidak menjadi syahid. Apabila jihadnya berujung pada kematian di jalan Allah, maka tak ada kebaikan yang akan mampu menandinginya. Dalam Al-Quran Al-Karim difirmankan : Dan tanah yang subur mengeluarkan tumbuh-tumbuhannya atas izin Tuhannya. Benar, tanah yang subur memberikan bebuahan bermanfaat bagi banyak orang atas izin Allah SWT.
Sekarang, timbul pertanyaan : Apakah hanya ibadah haji saja yang lebih tinggi dari jihad? Apakah karena ibadah haji memuat kandungan politik, ia lebih berbobot ketimbang ibadah biasa? Untuk menjawab pertanyaan ini, hendaklah Anda meneliti dan memahami peristiwa apa yang terjadi di bulan Dzulqaidah dan Dzulhijjah.
Peristiwa terpenting yang terjadi di bulan Dzulqaidah adalah terangkatnya permukaan tanah di bawah bangunan Kabah. Ya, pada tanggal 25 Dzulqaidah terjadi peristiwa tersebut yang disebut Dahwul al-Ardh.
Pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah terjadi peristiwa penting lainnya, yaitu turunnya surah Al-Bara’ah (At-Taubah) dan penyampaian sikap berlepas diri dari orang-orang musyrik, yang disampaikan oleh Imam Ali bin Abi Thalib pada saat pelaksanaan ibadah haji. Allah berfirman :
Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia
pada hari haji akbar,bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
berlepas diri dari orang-oprang musyrikin. (QS. At-Taubah : 3)
Ayat tersebut menjelaskan tentang al-tabarri (berlepas diri dari orang-orang musyrik). Ketika menurunkan wahyu ini, Allah menurunkan perintah kepada Nabi-Nya : Tidak boleh menyampaikan surat ini, kecuali engkau atau laki-laki yang berasal darimu. Oleh karena itu, Rasulullah SAW memberikan perintah kepada Ali bin Abi Thalib untuk menyampaikan surat (ayat) ini kepada orang-orang yang tengah melakukan ibadah haji.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa haji memiliki banyak keutamaan dari berbagai siisinya. Sekarang, jelaslah mengapa haji memiliki dasar yang sangat dalam, mengapa para nabi berupaya keras menyampaikan pesan mereka dari samping Kabah, sehingga sampai ke seluruh dunia. Apabila haji hanya memiliki sisi ibadah saja, dan sekedar thawaf mengelilingi Kabah, maka ibadah haji Islam tak jauh berbeda dengan ritual haji di zaman jahiliah.
SEBUAH PELAJARAN PENTING
Oleh : Ali Syariati
Peristiwa Imam Husain meninggalkan Mekah menuju Karbala dan terbunuh di sana sebelum menyelesaikan ibadah hajinya, merupakan pelajaran yang lebih penting dibandingkan syahadatnya. Ia tidak menyelesaikan ibadah hajinya untuk memberi pelajaran kepada para pelaku haji, yang shalat dan meyakini tradisi Ibrahim as, bahwa jika tidak ada kepemimpinan (imamah) dan tidak ada pemimpin yang sejati, jika “Husain” tidak ada di sana sementara “Yazid” ada di sana, maka melakukan tawaf mengelilingi rumah Allah adalah sama dengan melakukan tawaf mengelilingi rumah berhala. Orang-orang yang melanjutkan tawafnya sementara Imam Husain pergi ke Karbala, tidaklah lebih baik dari mereka yang bertawaf mengelilingi istana hijau Muawiyah. Apakah bedanya haji, sebagai sunnah Ibrahim as sang pembasmi berhala, dilakukan di ‘rumah Tuhan’ atau di ‘rumah manusia’? Apa yang terjadi pada haji tahun itu? Pusaran arus manusia yang sedang sibuk bertawaf. Wajah mereka menunjukkan penuh kekhusyukan dan hati mereka pun terbakar api cinta. Semua orang sedang memenuhi undangan Allah. Kecintaan terhadap agama, keagungan Islam, rasa takut kepada Tuhan dan azab hari kiamat serta hasrat untuk beribadah menjadi pendorong umat yang terpilih untuk bertawaf mengelilingi Kabah.
Di antara wajah-wajah itu nampaklah, para sahabat Nabi SAW, beberapa Muslim awal, para pahlawan perang jihad, para penakluk negeri-negeri kafir, mereka yang menghancurkan rumah berhala di muka bumi, mereka yang hidup dalam bimbingan Al-Quran dan mengikuti Sunnah Nabi SAW serta para pemimpin spiritual. Semuanya meninggalkan urusan duniawi mereka. Dengan penuh kecintaan kepada Allah SWT mereka menyaksikan surga yang menari-nari di depan mata mereka, para bidadari yang terpesona dengan wajah-wajah mereka yang saleh dan para malaikat yang memanggil-manggil mereka dari langit. Sementara Jibril as menghamparkan sayap-sayapnya di bawah kaki mereka, mereka khusyuk melakukan tawaf.
Siapakah orang yang dengan sebegitu bulat tekadnya dan bergejolak amarahnya meninggalkan arus tawaf kaum Muslim yang begitu padat dan meninggalkan ‘kota yang suci, aman dan penuh cinta’ ini? Sesudah semua kaum Muslim menghadap ke arah Kabah hendak kemanakah dia? Mengapa ia tidak berbalik untuk menyaksikan lingkaran arus manusia yang sedang bertawaf mengelilingi rumah Ibrahim as untuk menghadapi tantangan Namrud dan berlari-lari di antara Shafa dan Marwa yang menunjukkan kesia-siaan usaha yang telah mereka lakukan. Dari Arafah, yang merupakan tempat permulaan sejarah atau fase pertama dari kunjungan Adam as dan Hawa di bumi, mereka di bawa ke Masy’ar dalam kegelapan. Di negeri kesadaran ini – di mana tidak ada lagi hamba-hamba kebodohan – mereka disuruh tidur sepanjang malam dan menjelang fajar mereka bergerak laksana sekawanan hewan menuju negeri Mina. Ketiga kejahatan trinitas berada di sana. Seakan bercanda dengan Ibrahim as dan memperdayai Allah SWT, mereka melempar beberapa butir kerikil ke wajah-wajah tiga tuhan palsu yang telah mereka sembah sepanjang hidup mereka. Mereka membunuh domba sebagai simbol dari nasib mereka yang malang.
Mereka bagaikan hewan dan tiga tuhan palsu – yang memanfaatkan daging, kulit, susu dan bulunya – memperoleh kekuasaan dan menghiasi meja mereka. Orang-orang miskin ini selalu dikorbankan atas permintaan tuhan-tuhan palsu ini. Darah mereka mengalir dan ditampung di dalam kendi-kendi istana hijau, Masjid Dhirar dan persemakmuran Karun. Akhirnya, untuk menunjukkan kepatuhan mereka kepada tuhan-tuhan ini mereka harus mencukur kepala mereka. Para penindas telah memperalat kebodohan untuk mencapai tujuannya. Mereka adalah kaum konservatif yang tangannya berlumuran darah fakta-fakta. Jika manusia-manusia ini tidak ada – pada setiap generasi dan zaman – maka ada alasan untuk syahid. Kejahatan menyembunyikan diri di balik topeng-topeng kesucian dan kesalehan. Inilah para pelaku ibadah haji yang dibisiki oleh berhala-berhala dan mengorbankan Ismail di hadapan namrud dengan tangan mereka sendiri. Kemudian mereka merayakan hari ‘pengorbanan manusia’ atau ‘pengorbanan Ismail di zamannya’. Mereka membalikkan badan ke arah Kabah dan menghadap kiblat kehidupan mereka yang menyedihkan, seraya berkata pada diri mereka sendiri : “persetan dengan dunia ini, mari kita bekerja untuk mendapatkan surga akhirat.” Karena merasa gembira dengan nikmatnya kehidupan setelah mati, mereka tertidur lelap di atas debu hangat dari lantai dapur dan menikmati sisa-sisa santapan di atas meja sang perampok yang menjadi tuannya.